Kesaksian Kristen | Inspirasi Kehidupan: Seseorang Menyadari Makna Kekayaan yang Sejati
Setiap orang bermimpi menjalani kehidupan yang berlimpah secara materi, tak terkecuali aku. Aku pernah menjadi seseorang yang bekerja tanpa kenal lelah agar bisa memiliki kehidupan yang makmur.
Namun demikian, begitu aku mencapai kehidupan seperti itu, aku mendapati diriku hidup dalam siksaan, rasanya sakit dan kosong di dalam diriku. Sungguh, aku mengalami apa yang dikatakan dalam Alkitab, “Sangat sia-sia, kata Pengkhotbah, sangat sia-sia; segalanya sia-sia . Apakah keuntungan yang diperoleh manusia dari segala jerih lelah yang dilakukannya di bawah matahari?” (Pengkhotbah 1:2-3). Sekarang ketika merenungkan jalan yang kutempuh, hatiku dipenuhi dengan penyesalan.
Berusaha Keras untuk Hidup Makmur
Ketika masih kecil, hatiku selalu diliputi oleh kekaguman terhadap pamanku yang sukses. Setiap liburan Tahun Baru, paman akan datang dengan mengendarai mobilnya yang penuh dengan hadiah. Pada saat itu, sebuah mimpi tertanam di dalam diriku: jika aku dewasa kelak, aku akan menjadi kaya dan berkuasa seperti pamanku; aku akan menjalani kehidupan yang makmur.
Setelah lulus, aku pindah ke sebuah kota di tepi laut. Aku melihat gedung-gedung tinggi di sekitarku, mobil melintas kesana-kemari, dan keinginanku untuk menjadi kaya semakin bertambah. Aku menggunakan beberapa koneksi yang kumiliki untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan pemerintah, dan mencurahkan jiwa dan ragaku bagi pekerjaan tersebut. Di pabrik aku berpeluh, di kantor aku menerima teguran terus-menerus dari para atasanku, dan hingga larut malam aku berjuang untuk menangani krisis yang berkaitan dengan pekerjaan. Beberapa tahun kemudian, ketika aku telah menjadi manajer, para teman, saudara dan tetanggaku semuanya memberikan hadiah kepadaku dan memintaku untuk membantu anak-anak mereka memperoleh pekerjaan. Aku merasa dihargai oleh orang lain, dan hal ini rasanya luar biasa. Gajiku terus meningkat dari tahun ke tahun, dan aku mulai menjadi makmur.
Namun aku sama sekali tidak merasa puas. Dalam upaya untuk membawa karierku ke jenjang berikutnya, aku dengan berani mengundurkan diri dari pekerjaanku yang stabil di perusahaan pemerintah tersebut dan mengikuti manajer suatu perusahaan asing untuk memulai bisnis baru di kota besar lainnya.
Selama beberapa tahun berikutnya, aku merasakan bagaimana tingkat stresku melambung tinggi dalam lingkungan kerja yang serba cepat di perusahaan asing ini, yang memiliki gaya manajemen yang ketat. Ditambah lagi, aku selalu harus berurusan dengan para klien yang memiliki karakter yang berbeda. Aku harus mengajak mereka keluar makan, minum dan bersenang-senang, dan aku harus menemani mereka. Pada saat itu, aku melihat secara langsung kehidupan mewah dan tak bermoral dari para pengusaha dan eksekutif asing kenalanku. Beberapa dari mereka bahkan kecanduan narkoba. Itu adalah kehidupan yang gila-gilaan, cuek dan tak tahu malu. Aku sering kali merasa benar-benar kewalahan. Di saat-saat yang lebih tenang, aku mempertimbangkan buah dari gaya hidup mewah yang kunikmati. Berat badanku telah meningkat dan semua indikator fisik dalam darahku menunjukkan hasil uji yang lebih tinggi daripada normal. Aku menderita insomnia parah dan merasa terus-menerus kelelahan. Piringan di punggung bawahku meleset dari posisinya yang benar, dan dari waktu ke waktu hal ini menekan sarafku dan menyebabkan tungkai dan kakiku mati rasa, membuatku tak bisa merawat diriku sendiri selama tiga bulan. Dengan siapa pun aku berurusan, aku telah belajar membaca setiap gerak tubuh dan ekspresi mereka agar dapat memikat dan menyanjung mereka…. Begitulah rasa sakit dan kesengsaraan yang ada di balik kehidupan makmurku. Aku sekarang memiliki jenis kehidupan yang telah kucapai dengan bekerja keras, tetapi kehidupan ini tidak memberikan kepadaku kebahagiaan atau sukacita. Sebaliknya, aku menderita siksaan penyakit dan kehancuran spiritual. Aku tidak mengerti: mengapa hidup begitu menyakitkan?
Mencari Akar Rasa Sakitku
Di tengah kebingunganku, aku melakukan semua yang aku bisa untuk menemukan akar masalahku dan aku menemukan jawabannya di dalam firman Tuhan,
“‘Uang membuat dunia berputar’ adalah filsafat Iblis, dan filsafat ini berlaku di tengah seluruh umat manusia, di tengah setiap masyarakat manusia. Engkau dapat mengatakan bahwa itu adalah sebuah tren karena pepatah tersebut sudah ditanamkan ke dalam hati setiap orang dan kini melekat dalam hati mereka. Pada mulanya orang tidak menerima pepatah ini, lalu menjadi terbiasa dengannya sehingga ketika mereka berhubungan dengan kehidupan nyata, mereka secara bertahap menerima filsafat ini secara diam-diam, mengakui keberadaannya dan akhirnya, mereka sendiri menyetujuinya. Bukankah ini proses dari Iblis yang merusak manusia? … Jadi, setelah Iblis menggunakan tren ini untuk merusak manusia, bagaimana perwujudannya pada diri mereka? Tidakkah engkau semua merasa bahwa engkau tidak dapat bertahan hidup di dunia ini tanpa uang, bahwa bahkan suatu hari akan mustahil? Status orang didasarkan pada berapa banyak uang yang mereka miliki dan begitu pula kehormatan mereka. Punggung orang miskin membungkuk malu, sementara orang kaya menikmati status tinggi mereka. Mereka berdiri tegak dan bangga, berbicara keras-keras dan hidup dengan sombong. Apa yang ditimbulkan oleh pepatah dan tren ini terhadap manusia? Bukankah banyak orang akan melakukan apa pun demi mendapatkan uang? … Artinya, pepatah ini sudah mengendalikan perilakumu dan pikiranmu, dan engkau lebih suka membiarkan nasibmu dikendalikan oleh pepatah ini daripada meninggalkannya. Orang melakukan ini, mereka dikendalikan oleh pepatah ini dan dipengaruhi olehnya. Bukankah ini akibat dari Iblis yang merusak manusia?”
Setelah membaca firman Tuhan ini, aku menyadari bahwa penyebab rasa sakitku berakar pada usahaku untuk mengejar uang terus-menerus. Aku telah dicelakakan secara mendalam oleh pepatah Iblis seperti, “Uang membuat dunia berputar” dan “Uang yang terpenting.” Aku telah menjadikan pencarian uang sebagai tujuan hidupku. Aku berpikir bahwa jika aku punya uang, aku bisa hidup mewah; aku bisa berdiri tegak dengan kepala terangkat tinggi, memperoleh rasa hormat dari teman-teman sebayaku, dan hidup dengan penuh gaya dan kemegahan. Aku bekerja siang malam agar bisa menjalani kehidupan yang makmur; aku telah membebani pikiranku hanya demi mempelajari bisnis. Untuk memenangkan promosi dan meningkatkan gajiku, aku telah merendahkan diri di hadapan para atasanku, dan aku bersikap rajin dan teliti. Akan tetapi, bahkan setelah menjadi manajer, aku masih merasa tidak puas dengan keadaanku. Karena tergoda oleh iming-iming uang, aku telah mengundurkan diri dari posisi yang stabil di perusahaan pemerintah dan terjun ke pekerjaan yang menawarkan lebih banyak di perusahaan asing. Untuk mencapai hasil yang lebih baik lagi, aku telah menempatkan diriku di bawah tekanan kerja yang berlebihan, dan aku diburu-buru kesana kemari sampai kelelahan. Aku sakit karena terlalu banyak pekerjaan—aku selalu sakit. Meskipun demikian, untuk menjaga agar klienku senang, aku terus belajar cara memikat dan menyanjung mereka. Aku pergi minum dengan klienku dan gaya hidupku semakin lama menjadi semakin tak bermoral. Meskipun aku menghasilkan cukup uang dan menjadi makmur, kemakmuranku tidak bisa menyembuhkan siksaan penyakit atau pun tekanan yang kurasakan di hatiku. Saat itulah aku melihat dengan jelas: mengejar uang pastilah bukan merupakan jalan yang benar dalam hidup; jalan seperti itu semakin lama hanya bisa mengarah pada semakin banyak penderitaan. Setelah menyadari hal ini, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku di perusahaan asing, dan memulai usaha kecilku sendiri. Pada hari-hari berikutnya, aku mulai membaca firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Aku menjadi terlibat dalam kehidupan bergereja, dan lambat laun, aku mulai merasakan kebebasan dan kelepasan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku Menemukan Jalan Sejati ketika Menghindari Daya Tarik Uang
Suatu hari, seorang teman dokterku yang bekerja di rumah sakit bertanya kepadaku apakah aku ingin berbisnis dengannya dengan menjual obat-obatan ke rumah sakit. Tanggung jawabku adalah memperoleh obat-obatan, mengantarkannya, menjawab telepon, melakukan pembayaran, memenangkan dan menjamu klien, mengajak klien pergi, memberikan hadiah, dll. Sekali lagi, hatiku mulai melonjak kegirangan. Sekarang anakku sudah lebih besar, sehingga aku memiliki jauh lebih banyak pengeluaran. Bisnis baru ini akan memungkinkanku untuk menghasilkan cukup uang lagi dan memastikan agar keluargaku bisa hidup makmur. Pada saat itu, istriku memperingatkan aku, “Belum cukupkah kau menderita dengan melakukan bisnis jauh dari rumah? Kondisi piringan pinggulmu yang meleset itu masih buruk. Berapa banyak lagi kesibukan yang bisa kau tangani? Dengan kondisi tubuhmu seperti ini—kau tidak bisa terus berusaha memenangkan dan menjamu klien seperti ini. Apakah kau ingin terus melakukan kesalahan lama yang sama, menjalani jenis kehidupan sebagaimana Iblis telah menipumu sebelumnya? Tidak mudah untuk melarikan diri dari perangkap Iblis. Jangan terjebak dalam perangkap itu lagi. Ini adalah salah satu skema tipuan Iblis; engkau telah diperingatkan! ”
Dan istriku benar! Hari ini, dengan bersukacita aku telah menerima Injil kerajaan Tuhan. Melalui firman Tuhan, aku telah mengenali kejahatan Iblis. Tuhanlah yang telah menuntunku kembali dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Tak akan pernah lagi aku mengikuti jalan yang salah. Aku melihat firman Tuhan ini: “Ketenaran dan kekayaan yang diperoleh seseorang dalam dunia materiil hanya memberinya kepuasan sementara, kenikmatan yang akan berlalu, kemudahan semu, dan membuatnya tersesat. Dan karenanya orang-orang, dalam pergulatan mereka di tengah lautan manusia, yang menginginkan kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan hati, berulang kali tergulung oleh ombak. Ketika orang-orang belum memecahkan pertanyaan yang paling penting untuk dipahami—dari mana mereka datang, mengapa mereka hidup, ke mana mereka pergi, dan lain sebagainya—mereka tergoda oleh ketenaran dan kekayaan, disesatkan, dikendalikan, dan tersesat oleh hal-hal tersebut tanpa bisa keluar. Waktu berlalu; bertahun-tahun lewat dalam sekejap; tanpa ia sadari, ia telah berpisah dengan masa-masa terbaik dalam hidupnya.” Firman Tuhan ini dengan tepat menggambarkan kasusku. Aku telah menjadi terikat pada tujuanku untuk mengejar uang, ketenaran dan kekayaan. Aku telah menghasilkan uang, memperoleh kehidupan yang makmur, dan memenangkan rasa hormat dari rekan-rekanku; tetapi kesenangan ini hanya sebentar saja: pada dasarnya, kesenangan tersebut tak bisa mengisi kekosongan yang menyakitkan di hatiku, apalagi membebaskanku dari siksaan penyakitku. Kesenangan itu hanya membuatku keasyikan mengejar untung, dan beginilah caraku menyia-nyiakan bertahun-tahun dalam hidupku. Sebenarnya, Tuhan tidak menempatkan kita untuk berada di muka bumi ini hanya agar kita dapat berjuang untuk hidup makmur; sebaliknya, Dia ingin agar kita percaya kepada-Nya, menyembah-Nya, menerima bimbingan-Nya, sepenuhnya menyerahkan diri kita pada pengaturan-Nya, berusaha mengenal Dia, dan menjadi saksi atas perbuatan-Nya yang menakjubkan. Hidup seperti ini adalah hidup yang memiliki makna. Jika aku telah gagal menangkap kesempatan berharga ini untuk mengenal Tuhan, bahkan kehidupanku yang makmur pun akan benar-benar kosong dan pada dasarnya tidak mampu memberikan kepadaku sukacita rohani. Pada saat kematian, aku hanya akan bertangan kosong. Begitu aku menyadari hal ini, aku tahu pilihan mana yang harus kuambil. Aku memiliki bisnis yang stabil dan telah menghasilkan banyak uang. Aku tidak bisa menyerah lagi pada keserakahan yang tak mungkin terpuaskan. Aku perlu menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca firman Tuhan dan menyembah Dia. Oleh karena itu, dengan bijaksana aku menolak tawaran baik temanku tersebut.
Begitu aku telah membuat keputusan tersebut, datang kabar buruk. Paman yang pernah amat kukagumi meninggal dunia karena pendarahan otak yang disebabkan oleh terlalu banyak pekerjaan. Paman telah menjadi semacam selebritas lokal, memiliki set bernilai puluhan juta yuan, tetapi pekerjaannya yang gemilang lenyap begitu saja dalam sekejap dan hidupnya berakhir secara permanen pada usia 53 tahun. Setelah kematian pamanku, menjadi semakin jelas bagiku bahwa berjuang untuk hidup makmur tidak mendatangkan manfaat apa pun—nyatanya, hal itu menyebabkan bahaya yang mengerikan.
Jenis Kekayaan Lainnya
Di kemudian hari, aku melihat firman Tuhan ini: “Karena hakikat Tuhan itu kudus, hal itu berarti bahwa hanya melalui Tuhanlah engkau dapat menempuh jalan yang terang dan benar di sepanjang kehidupan; hanya melalui Tuhanlah engkau dapat mengetahui makna kehidupan, hanya melalui Tuhanlah engkau dapat menjalani kehidupan yang nyata, memiliki kebenaran, mengenal kebenaran, dan hanya melalui Tuhanlah engkau dapat beroleh hidup dari kebenaran itu. Hanya Tuhan sendirilah yang dapat membantu engkau menjauhi kejahatan dan membebaskan engkau dari bahaya dan pengendalian Iblis. Selain Tuhan, tidak ada seorang pun dan sesuatu pun yang dapat menyelamatkanmu dari lautan penderitaan sehingga engkau tidak lagi menderita: hal ini ditentukan oleh hakikat Tuhan.” Ini benar! Esensi Tuhan itu kudus dan hanya dengan bimbingan Tuhanlah seseorang dapat berjalan di jalan yang benar. Hanya dengan hidup sesuai firman Tuhan seseorang akan dapat menerima penjagaan dan perlindungan-Nya, melepaskan diri dari segala macam godaan dan bahaya Iblis, dan menjalani kehidupan yang bermakna. Melihat hal itu sekarang, mau tak mau aku memikirkan Ayub. Dia tidak menghabiskan hidupnya dengan berjuang untuk menjadi lebih kaya, dan akibatnya dia dijunjung tinggi oleh orang-orang di sekitarnya. Dia berjalan di jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Dia berusaha untuk mengenal perbuatan Tuhan, dan sepenuhnya tunduk pada pengaturan Tuhan. Ketika dia kaya, dia tidak pamer, tetapi terus hidup secara sederhana. Dia bahkan tidak menghadiri perjamuan anak-anaknya, karena takut hal ini akan menjauhkannya dari Tuhan. Bahkan ketika Iblis mengambil kekayaannya, dia masih memuji nama Tuhan. Pengabdiannya kepada Tuhan tidak berubah pada saat dia menghasilkan atau pun kehilangan uang. Dia berdiri dengan teguh dan memberikan kesaksian bagi Tuhan. Pada akhirnya, Ayub mendapatkan pujian dari Tuhan, dan dia beralih dari mengenal Tuhan “melalui pendengaran” menjadi melihat keberadaan Tuhan yang nyata. Imannya kepada Tuhan berkembang, dan dia menjadi mampu menjalani kehidupan yang benar-benar berharga dan bermakna. Dia adalah orang kaya yang sejati. Aku terilhami oleh pengalaman Ayub. Segera setelah aku memiliki waktu di hari-hari berikutnya, aku berdiam diri di hadirat Tuhan, membaca firman Tuhan, dan menyanyikan lagu-lagu pujian bagi-Nya. Tubuhku secara bertahap pulih, dan pikiranku juga semakin lama menjadi semakin stabil, semakin damai.
Setelah menempuh jalan ini, aku tahu secara mendalam bahwa mengejar kekayaan pada kenyataannya adalah seperti jaket indah yang Iblis gunakan untuk menipuku. Jaket itu menutupi tubuh luarku, tetapi tak pernah bisa mengisi kekosongan jiwaku. Uang, ketenaran dan kekayaan tidak dapat memperpanjang hidup seseorang; untuk satu menit atau satu detik sekali pun tidak. Kehidupan yang dijalani tanpa kebenaran tidak akan memiliki nilai apa pun. Aku bersukacita karena telah datang ke hadirat Tuhan dan menerima bimbingan dari firman kehidupan-Nya. Rohku sekarang terasa tenang dan damai, dan kehidupan seperti inilah satu-satunya kehidupan di mana seseorang akan dapat menjadi orang kaya yang sejati.
Oleh Saudara Chen Zhuo , China
Tidak ada komentar:
Posting Komentar